Aku masih ingat waktu itu. Waktu itu dalam hitungan menit ia
mengalah. Berbagai macam rengekan ia coba untuk menjadikannya senyum di akhir
perjalanan. Senjatanya cukup sederhana, sepotong ‘roti gabus’ Aku menyebutnya.
Hampir tiap bulan sekali kami berdua mengalami perjalanan yang sama. Dari rumah
kami yang terletak di pelosok kabupaten, kami naik jasa angkutan pedesaan
menuju pusat kota Tulungagung. Perjalanan yang menurutku paling mengesankan dan
Aku tunggu-tunggu kala itu.
Maklum perjalanan dari desaku, mergayu menuju ke
kota berhias pemandangan yang luar biasa menawan. Berjajar gunung sawah dan
anak – anak sungai seakan melambaikan tangannya yang kemerahan tersaput sinar
senja matahari. Belum lagi kalau sedang beruntung Aku bisa melihat sekawanan
burung kuntul di daerah sawah lapang campurdarat yang memang tidak jauh dari
Pantai popoh, hampir di setiap pergantian musim . “Begitulah burung itu
merantau untuk mempertahankan hidupnya dari pergantian musim, kebanyakan mereka
dari daratan Australia. Mereka punya Allah SWT”, begitulah kira-kira
jawaban beliau tiap kali Aku ulang pertanyaan yang sama, “Itu burung siapa?”.
Kurang lebih dua puluh lima kilometer perjalanan dari rumah
ke pasar wage, pusat grosir Tulungagung pada waktu itu. Biasanya kami membawa
bekal air gula merah dalam satu botol air mineral ukuran 600ml,
untuk sekedar mereda rasa capek di perjalanan. Dan tujuan perjalanan
ini hanya satu, menemui tuan toko grosir barang – barang kebutuhan sehari –
hari. Mulai dari peralatan sepeda, seperti gotri, stempet, ban
dalam, ruji dan sebangsanya, sampai dengan kebutuhan makanan seperti mie
instan yang saat itu ‘sarimi’ masih menjadi primadona dikalangan masyarakat.
Tapi dari sekian banyak toko yang kami kunjungi, Aku hanya tertarik pada satu
toko. Toko alat-alat perkantoran. Bukan tokonya yang menarik, juga bukan tuan
tokonya, tapi disebelah toko itu ada toko kecil bertuliskan “jual cake dan
bakery”. Pemandangan yang aduhai selalu Aku lihat di lemari display mereka. Ada
kue keju berlumuran coklat, ada kue tart yang bermandikan gulali, hemhhh.
Selalu dan selalu Aku menelan ludah ketika didepannya. Dan tahukan jurus ampuh
untuk bisa membawa salah satu dari kue-kue itu pulang? Hahaha, Aku merengek
sejadi-jadinya di depan tuan Toko sambil ngelesot (istilah orang jawa untuk
selonjoran kaki dilantai) dan tidak mau pulang.
Yes, sinyal yang Aku buat itu akhirnya bisa meluluhkan hati
Ibuku untuk merogoh sedikit uang dari sisa belanjanya. Mungkin karena
beliau malu, tapi begitulah kira–kira ekspresi anak-anak usia SD jaman
dulu ketika mau minta sesuatu. Kemudian Ibu memilihkanku roti yang belum
pernah Aku melihatnya, tapi rayu beliau “ini enak lho”. Dan Aku manggut-
manggut saja dengan mengusap sisa- sisa air mata di pipi. Rotinya sebesar
telapak tangan orang dewasa, dan ada tiga lapis bergandengan. Lapis pertama
rasanya seperti brownies, lapis berikutnya seperti ‘gabus’, rasanya manis tapi
setiap mau digigit selalu leleh duluan. Sedangkan lapis penutupnya rasanya
seperti agar-agar. Mak nyus banget lah pokoknya. Belakangan baru Aku tahu dari
buku resep masakan kalau nama kuenya itu ‘cake pudding foam’, kue yang
sebenanya paling murah di toko itu.
Setelah kesan pertama itu, Aku selalu semangat jika Ibuku
mengajakku belanja ke kota. Dan seperti dihafalkan, rute kami selalu sama. Toko
terakhir yang kami kunjungi adalah Toko “jual Cake dan Bakery”, hehehe.
Begitulah dulu Aku masih ingat betul salah satu permintaanku kepada Allah SWT ,
“Ya Allah, selalu sehatkan Ibuku Ya Allah. Kalo Ibuku sehat Aku bisa
jalan-jalan lagi ke kota”.....
Tahukah Kawan, bahwa sampai dengan hari Aku besar, ternyata
Ibuku belum pernah merasakan ‘Kue gabus’ yang dulu rutin beliau beli ketika
kami di pasar wage. Karena kue itu mewah bagi kami. Kue itu hanya untuk
anaknya... hanya untuk melihat senyum buah hatinya.... Dan ketika Aku usia SMA,
tidak sulit sebenarnya mencari alamat satu-satunya penjual ‘Kue gabus’ku,
karena memang SMA ku ada di kota. Tapi yang Aku dapati toko itu sudah tidak
ada, berubah menjadi deretan toko emas yang sudah tertata Apik. “Ibu, maafkan
nanda yang belum bisa membalas ‘kue gabus’mu dulu”. “Ibu, sampai dengan tulisan
ini dibuat, banyak sekali noda yang nanda tuas kelembaran-lembaran hatimu,
membuatmu malu, membuatmu marah, kesal, dan kadang menyayat. Maka nanda minta
maaf banget atas keegoisan nanda”. “Ya Allah, Engkau maha tahu segala
sesuatunya, Engkau Rohim, Engkau Rohmah, maka kasihilah Ibuku Ibuku Ibuku dan
Bapakku, sebagaimana beliau berdua mengasihi dan mendidikku sedari dalam
rahim”. “Ya Allah ampuni dosaku, Dosa kedua orang tuaku dan selamatkan kami
dari api neraka-Mu”
Khusus untuk Ibu, “kalo ini tidak layak untuk kado,
setidaknya mohon untuk diterima sebagai bentuk cinta nanda kepada Ibu”.
“SELAMAT HARI IBU”
5 komentar:
ibu memang adalah sosok yg paling berjasa bagi kita.. kenangan bersamamu adalah penyemangat hidupku. kemanapun aku melangkah, dg siapapun aku berteman, aktivitas apapun yg aku lakukan..akan selalu aku ingat smua nasehatmu ibu.. mantabss
sepakat kawan... dan setrusnya akan berlaku rumus yang sama, bahwa restu ibu adalah modal besar kita untuk melangkah mendekati cita-cita.....
ini kisah nyata ya, jadi terharu membacanya..
jadi terharu
merasah lebih parah dari tokoh utama, cik cik cik
begitulah manusia, c(j)eritanya tiada akhir. isnt it kawan aminudin n cak adrianto?
Posting Komentar